Indonesia masih dihadapkan dengan
keprihatinan bahwa 36,8 persen anak balita Indonesia memiliki tinggi
badan di bawah standar. Meski pertumbuhan ekonomi di Indonesia cukup
menjanjikan. Angka ini menunjukan bahwa masalah kesehatan masyarakat
berada pada tingkat yang buruk menurut klasifikasi WHO.
walaupun status gizi anak balita
menunjukkan perbaikan, tetapi prevalensi anak yang pendek sebagai
indikasi kekurangan gizi kronis masih sangat tinggi yaitu 36,8%. Hal ini disebabkan
karena intervensi gizi yang dilakukan masih dianggap kurang tepat dan tidak
cost effective, serta penanganan gizi yang belum lintas sektor. Permasalahan obesitas
semakin mengemuka akhir‐akhir ini yaitu mencapai lebih dari 10% penduduk. Ke
depan diperkirakan permasalahan gizi lebih terkait dengan gaya hidup, semakin
besar. Perbaikan gizi masyarakat dilakukan
dengan fokus utama pada ibu hamil dan anak hingga usia 2 tahun, dan
penanggulangan gizi lebih antara lain melalui kerjasama lintas sektor, pemilihan
intervensi yang efektif dengan didukung oleh data yang kuat.
Salah satu kesulitan dalam
melakukan intervensi pembangunan gizi adalah kurangnya ketersediaan data mengenai
status gizi. Pada umunya data yang tersedia adalah data lama, sebelum adanya
Riskesdas 2007. Pemberdayaan masyarakat adalah
segala upaya fasilitasi guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat
agar mampu mengidentifikasi masalah, merencanakan dan melakukan
pemecahannya dengan memanfaatkan potensi dan fasilitas yang ada. Tujuan pemberdayaan
masyarakat di bidang kesehatan, meliputi :
a) meningkatkan kemampuan masyarakat
untuk menolong dirinya sendiri (self‐
care), b) memperbaiki pengambilan
keputusan pencarian pengobatan (treatment
decision), c) meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang kesehatan (health
literacy), dan d) meningkatkan reaksi
tanggap masyarakat atas pelayanan kesehatan dan masalah kesehatan di lingkungannya
(responsiveness).
Peran posyandu dirasa banyak pihak
mulai menurun setelah adanya krisis ekonomi 1997, dimana banyak kader
sukarela yang kemudian lepas dari kegiatan posyandu. Peran PKK mulai menurun
sehingga menjadi salah satu faktor menurunnya aktifitas posyandu. Pada
umumnya kelembagaan PKK saat ini masih dan telah aktif sampai di tingkat
desa. Tetapi komponen di bawahnya, terutama Dasa Wisma. Sebetulnya masalah Kelompok Kerja
Operasional (Pokjanal) Posyandu telah terjadi sebelum krisis, yaitu kurang
aktifnya pokjanal oleh karena tidak mempunyai dukungan dana operasional yang cukup
dan kesulitan dalam melakukan koordinasi. Kualitas posyandu yang menurun
antar lain karena makin tergantung datang atau tidaknya petugas dari puskesmas,
kemampuan dan motivasi kader yang makin rendah, kurangnya kegiatan pendukung
seperti kesulitan penyediaan makanan tambahan, kurangnya fasilitas dan
administrasi, kurangnya dukungan tokoh masyarakat atau kejenuhan dari warga. Salah satu motor utama penggerakan
posyandu adalah kader PKK. Kegiatan PKK terutama yang berhubungan dengan
Pokja IV dan Posyandu memang menurun setelah reformasi tahun 1997.
Tetapi sejak tahun 2004, dengan periode kepemimpinan nasional yang baru,
PKK mulai diaktifkan kembali. Walaupun banyak kesulitan yang dialami seperti
banyaknya perubahan personel dan pengurus baru Tim Penggerak PKK di semua
tingkatan administrasi pemerintahan, terutama di kabupaten/kota ke bawah, tetap
berusaha untuk bangkit, terutama guna mengaktifkan posyandu di perdesaan. Masalah gizi kurang maupun gizi lebih
tidak dapat ditangani hanya dengan kebijakan dan program jangka pendek
sektoral yang tidak terintegrasi. Pengalaman negara berkembang yang berhasil
mengatasi masalah gizi secara tuntas dan berkelanjutan, seperti Thailand, Cina
dan Malaysia, menunjukkan perlunya strategi kebijakan jangka pendek dan jangka
panjang. Untuk itu diperlukan adanya kebijakan pembangunan bidang
ekonomi, pangan dan gizi, kesehatan, pendidikan, dan keluarga berencana yang saling
terkait dan terintegrasi untuk meningkatkan status gizi masyarakat (World Bank,
2006).
Sementara
penurunan prevalensi kekurangan gizi terjadi secara positif menurut
trend Susenas dan Riskesdas antar tahun 1989‐2007,
prevalensi stunting (pendek
dan sangat pendek) pada balita yang diukur dengan tinggi badan
menurut umur
masih cukup tinggi, yaitu sebesar 36,8 persen, perlu
dipertimbangkan untuk menetapkan
indikator sasaran stunting pada tahun 2014 sehingga
interevensi gizi mempunyai
fokus yang lebih tepat dan cost effective. Jika menngunakan
laju penurunan
yang sama dengan underweight, yaitu 1,06 persen poin per
tahun maka sasaran
prevalensi stunting pada anak balita pada tahun 2014 adalah 29,4
persen.