Selasa, 01 Mei 2012

GIZI BURUK

Indonesia masih dihadapkan dengan keprihatinan bahwa 36,8 persen anak balita Indonesia memiliki tinggi badan di bawah standar. Meski pertumbuhan ekonomi di Indonesia cukup menjanjikan. Angka ini menunjukan bahwa masalah kesehatan masyarakat berada pada tingkat yang buruk menurut klasifikasi WHO.

walaupun status gizi anak balita menunjukkan perbaikan, tetapi prevalensi anak yang pendek sebagai indikasi kekurangan gizi kronis masih sangat tinggi yaitu 36,8%. Hal ini disebabkan karena intervensi gizi yang dilakukan masih dianggap kurang tepat dan tidak cost effective, serta penanganan gizi yang belum lintas sektor. Permasalahan obesitas semakin mengemuka akhir‐akhir ini yaitu mencapai lebih dari 10% penduduk. Ke depan diperkirakan permasalahan gizi lebih terkait dengan gaya hidup, semakin besar. Perbaikan gizi masyarakat dilakukan dengan fokus utama pada ibu hamil dan anak hingga usia 2 tahun, dan penanggulangan gizi lebih antara lain melalui kerjasama lintas sektor, pemilihan intervensi yang efektif dengan didukung oleh data yang kuat.

Salah satu kesulitan dalam melakukan intervensi pembangunan gizi adalah kurangnya ketersediaan data mengenai status gizi. Pada umunya data yang tersedia adalah data lama, sebelum adanya Riskesdas 2007. Pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya fasilitasi guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mampu mengidentifikasi masalah, merencanakan dan melakukan pemecahannya dengan memanfaatkan potensi dan fasilitas yang ada. Tujuan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, meliputi :

a) meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri (self‐

care), b) memperbaiki pengambilan keputusan pencarian pengobatan (treatment

decision), c) meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan (health

literacy), dan d) meningkatkan reaksi tanggap masyarakat atas pelayanan kesehatan dan masalah kesehatan di lingkungannya (responsiveness).



Peran posyandu dirasa banyak pihak mulai menurun setelah adanya krisis ekonomi 1997, dimana banyak kader sukarela yang kemudian lepas dari kegiatan posyandu. Peran PKK mulai menurun sehingga menjadi salah satu faktor menurunnya aktifitas posyandu. Pada umumnya kelembagaan PKK saat ini masih dan telah aktif sampai di tingkat desa. Tetapi komponen di bawahnya, terutama Dasa Wisma. Sebetulnya masalah Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) Posyandu telah terjadi sebelum krisis, yaitu kurang aktifnya pokjanal oleh karena tidak mempunyai dukungan dana operasional yang cukup dan kesulitan dalam melakukan koordinasi. Kualitas posyandu yang menurun antar lain karena makin tergantung datang atau tidaknya petugas dari puskesmas, kemampuan dan motivasi kader yang makin rendah, kurangnya kegiatan pendukung seperti kesulitan penyediaan makanan tambahan, kurangnya fasilitas dan administrasi, kurangnya dukungan tokoh masyarakat atau kejenuhan dari warga. Salah satu motor utama penggerakan posyandu adalah kader PKK. Kegiatan PKK terutama yang berhubungan dengan Pokja IV dan Posyandu memang menurun setelah reformasi tahun 1997. Tetapi sejak tahun 2004, dengan periode kepemimpinan nasional yang baru, PKK mulai diaktifkan kembali. Walaupun banyak kesulitan yang dialami seperti banyaknya perubahan personel dan pengurus baru Tim Penggerak PKK di semua tingkatan administrasi pemerintahan, terutama di kabupaten/kota ke bawah, tetap berusaha untuk bangkit, terutama guna mengaktifkan posyandu di perdesaan. Masalah gizi kurang maupun gizi lebih tidak dapat ditangani hanya dengan kebijakan dan program jangka pendek sektoral yang tidak terintegrasi. Pengalaman negara berkembang yang berhasil mengatasi masalah gizi secara tuntas dan berkelanjutan, seperti Thailand, Cina dan Malaysia, menunjukkan perlunya strategi kebijakan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk itu diperlukan adanya kebijakan pembangunan bidang ekonomi, pangan dan gizi, kesehatan, pendidikan, dan keluarga berencana yang saling terkait dan terintegrasi untuk meningkatkan status gizi masyarakat (World Bank, 2006).





Sementara penurunan prevalensi kekurangan gizi terjadi secara positif menurut trend Susenas dan Riskesdas antar tahun 1989‐2007, prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada balita yang diukur dengan tinggi badan menurut umur masih cukup tinggi, yaitu sebesar 36,8 persen, perlu dipertimbangkan untuk menetapkan indikator sasaran stunting pada tahun 2014 sehingga interevensi gizi mempunyai fokus yang lebih tepat dan cost effective. Jika menngunakan laju penurunan yang sama dengan underweight, yaitu 1,06 persen poin per tahun maka sasaran prevalensi stunting pada anak balita pada tahun 2014 adalah 29,4 persen.





Senin, 23 April 2012

JUTAAN LANSIA TERLANTAR

orang lanjut usia (manula) berjumlah 2,3 juta orang yaitu penduduk berusia 60 tahun terlantar disebabkan oleh kemiskinan dan ketiadaan daya dukung. orang lanjut usia terlantar karena miskin tanpa keluarga atau memiliki keluarga tetapi tak mampu memberikan perawatan kepadanya. akibatnya lansia tidak mendapatkan kasih sayang, kekurangan gizi dan sakit-sakitan. jumlah lansia terlantar cenderung meningkat. Kemensos mencatat lansia terlantar tahun 2007 ada 2 Juta Jiwa naik menjadi 2,3 juta jiwa pada tahun 2011. kemiskinan cenderung membuat lansia terlantar dan juga rentan dieksploitasi sehingga turun kejalanan menjadi pengemis. jaminan sosial lansia perbulan 200.000 tetapi hanya untuk 26.500 lansia yang sakit menahun. sebagian besar lansia terlantar dirawat dipanti sosial, ada sekitar 274 panti di indonesia. sekitar 90 % panti lansia dikelola oleh masyarakat selebihnya pemerintah dan pemda. 

Di Indonesia belum sistem jaminan sosial yang melindungi lansia. penerapan Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional yang mengatur hari tua kian mendesak. BPS mencatat jumlah lansia 15,3 juta jiwa tahun 2000 menjadi 24 juta jiwa tahun 2010. diproyeksikan tahun 2020 menjadi 28,8 juta jiwa. angka rasio ketergantungan penduduk tua telah meningkat dari 12,2 persen tahun 2005 menjadi 13,3 persen tahun 2009, itu berarti setiap 100 penduduk usia produktif menanggung 13 lansia..